Presiden Indonesia
ke-1
Masa jabatan
17 Agustus 1945–12 Maret 1967
17 Agustus 1945–12 Maret 1967
Kebangsaan Indonesia
Partai politik PNI
Agama Islam
Pada tahun 1926,
Soekarno mendirikan Algemene Studie
Club di Bandung yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr.
Soetomo. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia
yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya
ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929
dan dipenjara di Penjara Banceuy,
pada tahun 1930 dipindahkan ke Sukamiskin
dan memunculkan pledoinya yang fenomenal Indonesia
Menggugat (pledoi), hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932,
Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan
dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933,
dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh
nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap
suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan.Pada
tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.Soekarno baru kembali bebas pada masa
penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa
penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan
Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh
pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin
yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya,
pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh
tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap
organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk
Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera),
BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain
lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh
nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah
seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang
berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri,
saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan,
mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya
kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha
persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan
Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk
untuk menyingkir ke Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana
Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia
yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan
diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang
kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan
Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu
berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang
sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia
Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan
Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam
badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi
Soekarno bersama
tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia
Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari
sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal
Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok
pada tanggal 16 Agustus 1945;
Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk
oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta
Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta
segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia
terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan
pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan
alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang
berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik
Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan
bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya
wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad
Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil
presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan
Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada
dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih
bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu
(AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip
Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara
de facto setelah mengadakan
pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha
menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan
pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah
Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir
Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan
Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden
dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno
menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan
kepala negara (presidensiil/single
executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah
menjadi semi-presidensiil/double
executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir
sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya
maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945
tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap
negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan
berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap
paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948
serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil
Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda.
Meskipun sudah ada Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara,
tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap
mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya,
hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Masa
kemerdekaan
Setelah Pengakuan
Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan
Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia
Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan
Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat,
yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh
rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17
Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden
Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan
Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden
Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan
pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal
Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan
terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet
yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung" membuat Presiden
Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai
"penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan
menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh
bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga
banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya
terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum
mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno,
pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di
Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung
dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom
waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan
imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya
perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia
internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama
Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir),
Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma)
dan Jawaharlal Nehru (India)
ia mengadakan Konferensi Asia Afrika
yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat
jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya.
Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai
saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai
negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari
kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan
Indonesia.
Guna menjalankan politik
luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno
mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di
antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Kejatuhan
Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah
enam jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau
G30S pada 1965. Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih
merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya Kemudian massa
dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar
Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat
(Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan. Namun, Soekarno
menolak untuk membubarkan PKI karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme Sikap Soekarno yang
menolak membuabarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik. Lima
bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret
yang ditandatangani oleh Soekarno. Isi dari surat tersebut merupakan perintah
kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga
keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden. Surat tersebut lalu
digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk
membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang. Kemudian MPRS
pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan
Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada
Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila
presiden berhalangan.
Soekarno kemudian
membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S
pada Sidang Umum ke-IV MPRS. Pidato tersebut berjudul "Nawaksara" dan dibacakan pada 22 Juni 1966 MPRS kemudian meminta Soekarno untuk
melengkapi pidato tersebut. Pidato "Pelengkap Nawaskara" pun
disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967
namun kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama
Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan
Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan
ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia. Setelah
melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno,
mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden
RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.
Lihat Selengkapnya :
0 komentar:
Posting Komentar